Tuesday, July 29, 2008

individualis?

Seminggu yang lalu Keluarga Kamil, yang tinggal di lantai satu (bukan lantai dasar) tanya, apakah kita di atas (lantai 2) denger ribut-ribut malam sebelumnya. Kita bingung, maksudnya apa. Mereka cerita kalau malam yang dimaksud ada kejadian di kontrakan seberang mereka. Katanya sampai dateng polisi, ambulans, pemadam kebakaran yang ada crane-nya sampai keliatan kantong mayat. Hiii serem..

Ternyata keluarga Kamil pun sebenernya ga tau jelas, cuma denger ada yang ribut trus nangis2 keluar dari kontrakan seberangnya. Paginya yang punya rumah seberang gedung dimana kami tinggal tanya. "Ada apa tuh, tadi malem, jam setengah sebelasan. Kok heboh banget?" Yang ditanya juga ga tau. Nah, giliran kami yang ditanya, kami juga ga tau. Kita pun nggak ngeh, kalau sampai ada banyak kendaaan bersirene mampir di gedung kami. Padahal malam itu kami lagi nonton Monk, lho. Aku malah nyetrika baju, jadi ga yakin banget ga mungkin ketiduran. Apa kami segitu cueknya atau individualisnya sampe ga mau denger kejadian seheboh itu? Kayaknya sih enggak, soalnya disini tuh relatif damai dan aman, jarang kejadian. Jadi kalau ada, kami pasti ikutan penasaran.

Kenapa ya, kok kita sama sekali nggak ngeh akan kejadian seheboh itu? Kalau aku pribadi, karena cukup sering denger ambulans atau mobil polisi atau pemadam kebakaran lewat depan rumah, jadinya kurang sensitif lagi. Heheh, ga setuli itu sih, tapi bener deh, suaranya nyaring banget. Tapi karena jarang ada kejadian disini atau pertigaan depan rumah, jadinya sebodo teuing... Mikirnya kan, kejadiannya ga disini gituh. Saking seringnya jadi terbiasa denger suara senyaring itu.

Nah, kemungkinan kedua karena isolasi suara di gedung tempat kita tinggal ini lumayan okeh. Suara dari jalan kedengeran jelas kalau jendela dibuka atau di-kippen alias didongkrak keatas jadi bagian atas daun jendela terbuka. Nah, secara Jerman itu negara empat musim, jadilah karet isolasi ada dimana-mana, maksudnya paling enggak ada di jendela, supaya angin dingin ga masuk. Udah gitu gedung kita termasuk bangunan lama, yah kalau di Indonesia mungkin cagar budaya deh tapi masih boleh ditempati dan alih fungsi. Temboknya booo, tuebel buenerr... Mungkin karena jaman dulu belum ada sistem pemanas ruangan secanggih ini, ya. Jadi... kalau ditarik kesimpulan, rumah kita ini cukup kedap suara, dari dalam ke luar maupun luar ke dalam. Kecuali sumber suara dari dalam gedung. Besar kemungkinan (banyak ya kemungkinannya?) malam itu dingin, jadinya kita tutup jendela rapat-rapat (sommer kali ini banyakan dinginnya daripada panasnya).

Emang sih, orang disini relatif santai alias ga mau ikut campur urusan orang lain, kecuali sampai mengganggu ketertiban umum. Udah gitu belum tentu kita kenal tetangga kita. Tapi belum tentu orang disini idividualis. Sepertinya bagi mereka, cukup menjalankan kewajiban dan mengambil haknya. Jadi kemaruk juga enggak (kok malah beralih topik ya?). Niwey, maksudku disini orang nggak seindividualis itu, seperti anggapan kita kalau kita lagi belajar perbandingan antara dunia "barat" sama "timur". Mungkin maksudnya sederhana, ga mau bikin konflik dengan nyampurin urusan orang, kecuali terpaksa. Itu ajah.

Kesimpulannya? Apa ya? Oiya, jadi anggapan orang barat itu individualis ga sepenuhnya benar. Kali aja ada faktor lain yang menyebabkan orang itu jadi tidak tahu, yah contohnya isolasi jendela atau dinding yang tebal. Heheheh...

Thursday, July 24, 2008

hamil?

Wehehe... provokatif ya? Bukan kok, bukan aku yang hamil, orang lain. Ini mau cerita tentang anak muda disini. Mmh, beberapa hari yang lalu aku nonton berita di tivi Punkt 12, semacam Liputan Siang gitu, yang ceritain tentang sepasang muda-mudi yang baru 11 tahun, masih sekolah lah. Nah, disitu ibu si cewek cemas karena anak gadisnya yang masih kecil itu sudah terlalu "matang" (hehehe emangnya buah, bisa dibilang matang?) Ibu itu takut kalau putrinya hamil, karena pasangan muda-mudi tadi sudah melakukan hubungan suami istri tanpa menyadari resikonya (hamil, kena penyakit kelamin bahkan AIDS, dll). Umur sebelas boooo! Di Indonesia kan itu masih SD ya.
.
Tadinya itu ibu merasa masih dalam daerah aman, karena menurut survey rata-rata anak muda di Jerman melakukan sex pertamanya umur 14 tahun, tapi itu kan cuma survey, ya? Mana tahu... Akhirnya ibu, anak gadisnya dan pacarnya pergi konsultasi ke yayasan yang sering menangani masalah keluarga. Solusinya tu anak gadis dikasih resep buat beli pil sebagai langkah pencegahan. Sebagai catatan aja, kalau disini gadis bawah umur boleh dapetin pil atau alat kontrasepsi lainnya secara gratis. Mmh, mungkin solusi yang lebih cocok disini (baca: Jerman), karena ga mungkinlah tu anak gadis disuruh putus ma pacarnya, yang ada malah kabur atau yang lain-lain. Berabe rek!
.
Cerita lain tentang rekan kerja di Cafe. Rata-rata tiap perusahaan segala jenis bidang usaha buka lowongan praktikum. Nah, di Cafe saat ini ada beberapa praktikantin, salah satunya yang sering ketemu adalah Christina. Kalau nggak salah, dia masih sekolah (semacam SMK gitu lah) dan baru selesai ujian praktikumnya, jadi kurang lebih 18-19 tahun. Waktu itu aku pernah mikir, kalau orang jerman (perempuannya) banyak juga yang ga jaga bodi. Entah Obesitas atau emang dari kecil terbiasa hidup tidak sehat, jadi belum hamil dan melahirkan pun dah kaya ibu-ibu. Waktu itu aku mengacu ke Christina. Eh ternyata kemaren dia bilang, dia hamil! Walah-walah.. Heheh, lucunya karena aku mendadak panik. Padahal biasa aja kali yee, lha wong aku bukan siapa-siapanya dia. Ya ampyun, umur segitu kan belum kuliah atau kerja. Belum nikah. Tapi mungkin hidup sama pacarnya ya. Trus gimana dong hidupnya? Mungkin aku selalu ngeliat dari kacamataku sendiri, dengan kebiasaanku, dengan standarku, dll. Aku ga kebayang, gimana ya kelanjutannya. Sekarang sih dia masih kerja di Cafe bagian Konditorei, jadinya ga terlalu berat secara fisik. Tunggu aja bulan Januari tahun depan.
.
Kalau sekarang dah punya anak perempuan gini, jadi makin berasa. Gimana membekali dia buat masa depan, apa-apa aja yang diperluin, dll dll.
Serem bo... Amit amit deeehhh... Hiiii...

Wednesday, July 16, 2008

Cerita dari Simon tentang demam berdarah di Jakarta:
.
it's okay, jd begini..auuuu...
dbd jaman skrg lebih canggih. tanda2nya ga lagi bintik merah kulit. awal miggu lalu nyokab gw mulai demam. badan lemes bgt n susah kemana-mana alias bedrest. badan sakit bgt kayak digebukin kata doi. trus pas dicek kedokter belum yakin dbd. panas, plus maag, ga napsu makan. jadilah muntah2 tp ga ada yg keluar. katanya nyokab lebih sengsara. gara2 ngeden mulu tp ga ada hasil. cuaapee bget rasanya.. dokter belum yakin dbd soalnya pas di cek di tangan ga ada bintiknya. akhirnya diusulin cek trombosit. barulah ketauan dalam 3 hari berturut trombosit turun terus. tapi anehnya hari kedua nyokab udah merasa baekan. kaya orang sehat gt. nah disini bahayanya.. untungnya walau merasa sehat, nyokab sempet kedeteksi trombositnya turun dan langsung di opname. selidik punya selidik, akhir2 ada beberapa orang yang setelah merasa sehat, kembali beraktivitas spt biasa. tanpa mereka sadari trombosit mereka turun terus. bahayanya langsung fatal. ketahanan tubuh ga ada. katanya kasus anaknya..aduh siapa ya..ibu psikolog deh..anak perempuannya meniggal gara2 dbd. padahal dia ngelihat udah baikan.
.
Saat ini mamanya dah sembuh & pulang dari rumah sakit. Thanks for the info, ya mon!

Wednesday, July 9, 2008

ke luar kota (2)

(Rana di kereta)

Hari Minggunya kami berangkat dari Goddelau naik kereta ke arah Mannheim yang jam 13.41. Beli tiketnya nggak bisa di Reisezentrum seperti biasa, karena emang ga ada loketnya. Jadinya beli di Automaten (mesin karcis). Kalau kemaren beli tiket 14,60 Euro dengan judul dari kota Bad Schönborn-Krönau sampai Riedstadt-Goddelau, sekarang beli dari Riedstadt-Goddelau sampai Waghäusel dengan harga 12,80 Euro. Kenapa begitu? Karena lebih murah. Aku naik kereta yang beda waktu berangkat pulang pergi (naik RB-Regional Bahn atau naik S3). Kalau saja Goddelau termasuk negara bagian Baden-Württemberg (BW), bisa aja aku pakai tiket BW Single cuma 17 Euro tapi bisa kemana aja di BW seharian. Karena diluar BW alias di Hessen, perlu WET (Wochenende Tickets) yang harganya 35 Euro buat berlima berlaku seharian. Karena aku sendiri (anak dibawwah 6 tahun masih gratis), rugi dong. Jadilah aku gunakan tiket semesterku yang berlaku sampai Zona Tujuh, artinya kalau ke Mannheim aku bisa pakai sampai di kota Waghäusel (kalau naik RB) atau Bad-Schönborn-Krönau (kalau naik S3). Kalau tiket aslinya dari Karlsruhe berharga 17,40 Euro, ini bisa berkurang sampai 5 Euro lebih murah. Bukan pelit, ya, tapi ekonomis. Emang mesti pandai berhitung deh...
.
Kali ini rana dah ngantuk waktu berangkat, maklum dia baru aja makan banyak sampai kenyang. Naik kereta dibantu Mba Uli dan Pakde. Akhirnya kita duduk di gerbong yang lumayan kosong. Sampai di Mannheim kita sebenernya bisa pilih, mau naik S3 atau RB, tapi karena dah beli tiket yang jurusan RB, jadilah kita nunggu kurang lebih 20 menit. Untung banget rana tidur, jadinya waktu banyak orang naik kereta bawa sepeda dan pake rebutan tempat, rana ga ikut ribut. Itu biasa banget di gerbong ini, karena banyak orang yang merasa gerbong buat sepeda atau kereta bayi ini bisa buat semua. Betul, tapi itu kalau ga ada sepeda, kereta bayi atau orang yang pake kursi roda. Kalau ada, haruslah didahulukan dan yang lainnya cari tempat duduk di gerbong lain yang padahal jumlahnya lebih banyak. Dasar orang mau enaknya sendiri. Ga berasa apa, kalau bawa kereta bayi atau sepeda jatahnya lebih sedikit dan lebih repot?!!! (ceritanya sewot nih).
.
Rana bangun waktu kita lewat kota Schwetzingen, yang terkenal dengan Schloss-nya (puri). Akhirnya rana aku dudukin di kursi kereta & ngajak ngobrol atau baca buku. Pokoknya lagi manis banget deh dia. Pfuih.. sampai juga di Karlsruhe Hbf. Supaya lebih cepat kita cari kereta yang langsung dari Hbf lewat Karlsruhe-Durlach, cuma 5 menit. Kalau kita naik trem kota, lama banget, bisa sampai satu jam soalnya hari Minggu. Sempet kita nunggu kereta yang salah, tapi untung masih kekejar kereta ke arah Stuttgart. Di Stasiun Karlsruhe-Durlach dah ditunggu Guntur, jadilah kita bertiga jalan sampai rumah. Home Sweet Home...

di luar kota


Hari Sabtu di rumah Mba Uli itu akhirnya diputuskan dengan menginap. Alasannya karena perjalanan lumayan melelahkan, Guntur perlu konsentrasi di rumah, belum puas ngobrol-ngobrolnya. Rumah Mba Uli bagus! (Ini komentar orang awam ya, yang dah lama ga liat rumah besar yang pake pekarangan) Mungkin kalau di Indonesia lebih-lebih Pondok Indah termasuk biasa, tapi buatku yang dah lama tinggal di flat kecil seiprit tanpa halaman dan ngontrak, rumah Mba Uli sendiri (dah hak millik) yang 3 lantai (termasuk lantai dasar) tambah semi basement plus halaman, itu dah top deh! Perabotan ala Indonesia plus dapur yang praktis bikin betah. Hehehe, bukan maksudnya mau masak melulu, tapi hati juga nggak ngerasa berdosa banget ga bisa banyak bantuin, karena kalau banyak piring kotor, tinggal masuk Spüllmaschine (mesin cuci piring), nggak ngerepotin. Enaknya...
.
Rana betah banget, selain banyak mainannya Bang Christopher, anak Mba Uli yang baru 10 tahun, halamannya bisa buat main. Rana kan lagi seneng main bola, jadilah klop sama Bang Christopher yang jago bola. Pakde Jurgen, suami Mba Uli, lagi keluar kota, jadi belum bisa kenalan. Sorenya abis makan malam jalan-jalan ke Alt-Rhein, sungai Rhein yang asli berkelok-kelok. Baru sebentar kita pulang, soalnya nyamuknya galak bo! Paling sempat jalan-jalan sebentar di kota yang kecil, yang lebih tepat disebut desa, atau belanja ke ALDI.
.
Pulang dah jam 8 malam, abis itu liat rana main bola sama si Abang trus bobo deh. Aku sih begitu rana tidur, bisa mandi dan nonton VCD sama Bude Kalit. Yah, rana terbangun beberapa kali dan nangis. Dia bingung lagi dimana dan ibunya ga ada, jadinya deh dia nangis. Hehehe... kasian. Ga enak juga sih, kalau sampai bangunin satu rumah.
.
Minggu paginya rana main bola lagi dan tidur pagi lagi. Akhirnya setelah makan siang, kita pulang. Setelah cek di internet jadwal perjalanan, aku berkemas. Jadwal kereta jam 13.41 dari Goddelau dan kita berangkat sekitar jam 13an. Malah dibawain buku cerita banyak buat rana yang lagi hobi baca buku. Buanyak banget... Makasih ya, Mba Uli, Bude dan Pakde. Juga buat Bang Christopher yang baik banget sama rana, walaupun ga pede ngomong bahasa. Hehehe... It was nice! Ciao Leeheim, bis zum nächsten Mal...

ke luar kota (1)

(Nongkrong di Bahhof)


Sesuai janjiku ke Mba Uli, aku dan rana pergi ke Riedstadt (Leeheim) hari Sabtu pagi. Rencana mau ketemu Bude dan Pakde Simanungkalit, orang tua Mba Uli, yang lagi berlibur di Jerman. Sebenarnya aku males banget pergi cuma berdua keluar kota tanpa Guntur, tapi bagaimana lagi, daripada ditunda-tunda terus dan malah nggak jadi-jadi. Guntur akhir minggu itu lagi sibuk ngerjain PRnya yang harus dikumpul Selasa. Kalaupun pergi, itu juga karena terpaksa. Macam aku pulang tahun lalu ke Indonesia cuma berdua sama rana yang usianya baru 4 bulan. Kebayang ga sih? Sebenernya sih nggak papa juga, tapi kalau anaknya model yang lincah dan ramai bisa heboh satu pesawat. Belum lagi kalau harus makan, harus ke WC, harus ganti popok, dll dll. Capeknya itu loh! Akhirnya sih sampai juga, lha wong pake niat sekali. Hehehhe...
.
Hari itu, Sabtu, 5 Juli, aku dan rana berangkat dari Karlsruhe-Durlach ke Mannheim dulu, lalu ambil kereta ke arah Frankfurt dan turun di Riedstadt-Goddelau, kota yang paling dekat dari rumah Mba Uli di Leeheim. Berangkat naik kereta jam 09.33 sampai di Goddelau jam 11.28. Yah, sekitar kurang dari 2 jam lah. Kalau naik kereta di Jerman memang lebih enak dan nyaman daripada naik kereta di Indonesia. Yah, kereta yang kunaiki ini mirip KRL Pakuan kelas bisnis lah.
.
Di kereta Jerman selalu ada tempat untuk orang yang diffable orang yang bawa kereta bayi, dan orang yang bawa sepeda. Tapi untuk tahu tempatnya di rangkaian gerbong kereta perlu berkali-kali. Nah, kali ini aku dah tau dimana gerbong itu, biasanya di kereta DBahn yang cukup baru letaknya paling depan (belakang lokomotif) atau gerbong rangkaian paling belakang. Itu juga kadang mesti kuat bertahan (baca: siap-siap berantem) dari orang-orang yang nggak tau diri atau pura-pura nggak tahu. Kalau kereta model lama, tempat-tempat itu selalu ada di tiap gerbong satu tempat duduk yang bisa diangkat, jadi kereta bayi bisa parkir disitu. Tapi kekurangannya naik ke keretanya selalu butuh bantuan, karena pintu masuknya sempit dan selalu berundak, karena keretanya lebih tinggi dari peron - kaya kereta di Indonesia. Jadi siap-siap nangkring di tempat dimana ada orang yang juga nunggu kereta. Untungnya orang disini relatif selalu siap sedia bantuin orang yang butuh pertolongan, seperti aku yang bawa kereta bayi sendirian.
.
Perjalanan berjalan alhamdulillah relatif lancar. Rana mulai ngantuk ditengah perjalanan, jadi aku bisa lebih tenang. Aku sih dah siap-siap bawa peralatan tempur, kalau-kalau rana bosen di jalan. Sebelum rana pengen jalan-jalan di kereta, yang mana bikin aku cape ngikutin dan megangin karena kereta suka oleng dikit, aku biasanya keluarin buku cerita atau mainan. Kalau ga berhasil keluarin makanan atau minuman. Kali itu rana ga perlu terlalu banyak makanan atau minum, cukup anggur aja. Turun di Mannheim aku langsung ke peron berikutnya. Lagi-lagi disini tersedia fasilitas buat orang yang terbatas untuk naik turun dan pindah peron tanpa pertolongan orang lain, antara lain pake lift atau kadang pake ramp (yang ini aku sebel banget, soalnya sering rampnya terlalu curam, sempit dan pendek, maksa banget, yang akhirnya tetep butuh bantuan orang juga).
.
Akhirnya sampai di Goddelau, aku ketemu Mba Uli. On time. Pas turun aku dibantu suami istri yang kebetulan bawa kereta bayi juga, jadi dia senasib juga. Di Jerman ini verboten alias dilarang bawa anak kecil di mobil kalau tanpa kindersitz alias tempat duduk bayi. Karena Mba Uli dah nggak punya lagi dan aku nggak bawa pula, akhirnya rana aku pangku duduk di belakang. Mungkin karena kota kecil, jadinya nggak terlalu khawatir ketauan polisi. Heheheh... Lima menit perjalanan dengan mobil, akhirnya kami sampai di rumah Mba Uli deh...

Tuesday, July 8, 2008

mami?

Ini cerita tentang Rana sebenernya, yang akhir2 ini cukup banyak ngoceh. Dia tuh sering ngocehtanpa arti, yah masih bahasanya sendirilah. Baya2, baba, baela, mama sama mami. Nah, yang terakhir ini sering banget disebut-sebut. Mama dia sebut kalau mau minta minum. Kayaknya sih dia terinspirasi Jasmin, 23 bulan, yang memang panggil ibunya mami. Sekarang rana kalau panggil aku seringnya mami, walaupun dia juga sering bilang mami kalau minta sesuatu. Dia bisa panggil ayah, tapi ga bisa ibu. Susah kali ye... Mami lebih gampang. Tapi aku kan bukan bule bo... Ibu aja deh... ^_^

Wednesday, July 2, 2008

I N T I S A R I

(Si Ninja Inti, waktu dia dulu TBC - sekarang dah sembuh)

Ini cerita tentang seseorang yang cukup berjasa di keluarga kami. Panggilannya sih cukup Inti dari nama lengkapnya Inti Sari. Mmh, nama yang bagus bukan? Singkat padat bermakna. Tulisan ini didedikasikan untuk dia, yang sekarang sudah tidak bekerja lagi pada kami.

Alhamdulillah sejak aku kecil sampai sekarang, asisten rumah tangga ibuku jarang berganti. Rata-rata awet semua, walaupun si bapak cukup cerewet dan banyak request. Tapi mereka semua yang sempat bekerja pada kami baik-baik. Peran mereka banyak dalam kelangsungan dan kelancaran keluarga kami. Kalau nggak ada mereka, mungkin ibuku harus menghabiskan banyak waktu di rumah dan ga bisa kerja di luar seperti selama ini. Mereka yang kuingat, Mbok De, Yu Daliah, Yu Umi, Yu Prapti, Acih, dan Inti. Hebat loh mereka. Sebagian dari mereka mulai dari nol dalam urusan rumah tangga sampai akhirnya bisa diserahin kepercayaan ibuku.

Nah si Inti ini mulai dari umur 15 tahun bekerja di rumah. Bukan maksud kami memperkerjakan anak di bawah umur, tapi bagaimana lagi kalau kedua belah pihak sama-sama butuh? Yang penting tidak sampai merampas kebebasan individu dan hak azasi manusia. Inti ini sepupunya Acih, asisten kami sebelumnya yang pulang karena mau kawin tapi ternyata tidak jadi, hehhehe... Pada awalnya Inti belum bisa masak, kenal bumbu juga nggak semua. Sampai dalam kurun waktu enam tahun dia di rumah kami, dia bisa menguasai semua jenis masakan yang ibuku ajarkan. Masakan rumah sampai kue kecil. Dia juga cukup kreatif buat coba-coba resep. Yang jelas, dia jujur & bukan pemalas.
Adalah waktu-waktu dimana dia mulai bosan, mungkin kelamaan kerja di rumah kami ya? Tapi akhirnya tetep kerjanya baik. Dia nggak suka ngeceng macam asisten rumah tangga tetangga kami, dia lebih suka di rumah atau ikut ibu jalan belanja. Lebaran dia nggak pulang kampung, jadinya dia di rumah buat bantu-bantu kami. Dia keluar rumah untuk belanja atau untuk pulang ke rumahnya di Depok atau sesekali pulang kampung ke Kuningan. Anak berbakti deh. Dia akhirnya beli HP setelah sekian lama kerja dan itupun dia masih menghidupi keluarganya. Dia punya pacar setelah 4 tahun bekerja di rumah. Itu pun baik-baik dan diketahui ibu bapak di rumah. Pertama tukang roti, kedua pekerja di sekolah ibu dan sekarang nggak tau lagi. Heheh...

Sekarang dia dah nggak kerja di rumah lagi, tapi kadang masih dipanggil kerumah. Terutama kalau ibu lagi keluar kota atau butuh bantuan buat acara-acara di rumah. Yah, asisten yang sekarang kerja di rumah ABG banget gayanya, katanya sih centil, belum bisa dipasrahi yang penting-penting. Yah, mungkin karena kita keenakan dibantu si Inti, ya? Tapi kita seneng, karena Inti pernah bantu kita. Dia sekarang kerja di Lapo di daerah Depok, karena bisa pulang ke rumah setiap hari. Tapi ya mungkin gajinya nggak sebesar sebelumnya. Yah, yang penting si Inti bisa seneng lah...
Hidup Inti! Trimakasih ya, dah dibantuin selama ini. Juga buat Yu-yu sebelumnya. Kalau perlu rekomendasi, bisa kok aku kasih!
Leb wohl!

Sommerzeit

Kalau masih Winter, yang paling ditunggu adalah saat musim semi (Frühling) atau bahkan Sommer. Biasanya mendekati waktu-waktu itu kalau ada matahari sedikit bersinar, berjemurlah orang di taman atau kafe-kafe yang ada terasnya. Yuppi...

Tapi sepertinya orang lupa sejenak, kalau musim panas tidak 100% menyenangkan. Yah, buat manusia dari daerah tropis dan sekitarnya, pasti seneng banget. Tapi tunggu aja sampai hoch-Sommer yang artinya puncak dari segala puncak musim panas. Hahahah, bakal kering deh kita. Jangan bayangin kalau kita manusia tropis bakal dengan mudahnya beradaptasi disini. No way deh! Lupa ya, kalau di daerah empat musim ini udaranya kering? Apalagi Karlsruhe, yang curah hujannya cuma 400 mm setahun dan kelembaban kira-kira 10%. Nah, di Indonesia curah hujan bisa dua kali lipatnya dan kelembaban bisa sampai 80-90%. Gimana?

Kalau suhu udara masih 20-25 derajat Celcius sih, masih oke. Apalagi ditambah angin sepoi-sepoi lebih oke, selama tanpa hujan, serasa di daerah puncak lah. Enakkan? Yah, kalau pake gerimis sedikit, mmh membantu kulit kita untuk lebih lembab sedikit. Kalau kata Frau Kröne, kolega di Cafe Kerhle, kelembaban sedikit bagus buat taneman, yah secara dia suka bercocok tanam gitu loh.
Emang, disini kalau musim panas, banyak bunga-bunga bermekaran, terutama bunga mawar. Selain itu musim panas memberi kesempatan buat anak-anak main di taman. Pelepasan dan relaksasi dari kungkungan rumah yang kecil alias terbatas. Kalau musim panas, banyak yang sekedar berjemur di taman atau sekalian piknik. Banyak kafe atau restauran yang buka terasnya. Toko kaus kaki dah berubah jadi toko es krim. ^_^ Kalau Sommer, subuh jam tiga pagi, magrib jam setengah sepuluh malem, isya jam dua belas kurang. Hehehe, puasanya gimana ya?

Nah, kalau suhu sudah mencapai 30 derajat bahkan lebih, rasanya... gile banget. Kaya di panggangan. Apalagi yang di gurun ya? Orang bisa dehidrasi dengan mudahnya. Sekarang kemana-mana bawa minum. Paling enak jalan-jalan pake bis aja, jangan pake trem. Kenapa? Karena bis dilengkapi AC, ya AC, dan trem enggak! Panas, sinar matahari menerjang masuk melalui kaca yang lebar di trem, bukaan jendela minim cuma setinggi jendela kamar mandi di Indonesia, orang-orang keringetan. Bisa agresif ga sih, apalagi kalau ada anak kecil yang jerit-jerit karena kepanasan? Yah, begitulah sommer disini... Tapi, nikmati aja deh, sebelum musim dingin datang.